Pembelajaran dari Yayasan PETAI dalam Menantang Diri untuk Memperkuat Kebermanfaatan dari Upaya Konservasi Kehati
Pada Mei hingga Agustus 2019 lalu, Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) mempercayakan pengembangan organisasinya kepada Digdaya melalui penerapan Coaching secara virtual. Program Coaching ini dilakukan secara daring di ruang virtual dengan penggunaan teknologi Zoom Cloud Meeting, jauh sebelum pandemi terjadi dan mengharuskan masyarakat untuk berkegiatan di ruang virtual tersebut. Efisiensi dan efektifitas waktu, anggaran, dan jarak geografis merupakan alasan digunakannya teknologi komunikasi di dalam program coaching ini.
PETAI merupakan LSM yang fokus pada upaya konservasi biodiversitas, dan bercita-cita mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta peningkatan kemakmuran masyarakat. Yayasan PETAI memusatkan kegiatannya di wilayah Sumatera Utara.
Lalu bagaimana cerita mengenai Program Coaching organisasi pertama yang dilakukan Digdaya ini? Apa pembelajarannya bagi Digdaya dan PETAI? Adakah perubahan yang terjadi di dalam PETAI setelah melalui proses tersebut? Simak wawancara dengan Co-Founder, Managing Director Digdaya Citta Selaras yang juga merupakan seorang certified professional Coach, Sarilani Wirawan (Sari) dan Direktur Eksekutif Yayasan PETAI, Masrizal Saraan (Mas) yang kami lakukan secara daring pada pertengahan Juni 2021 lalu.
Apa sih Coaching itu?
Sari: Coaching merupakan salah satu dari beberapa tools untuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Menurut International Coaching Federation (ICF), coaching itu sendiri adalah kemitraan antara Coach dan Coachee, yang dilakukan dengan cara memprovokasi pemikiran dan proses kreatif Coachee agar ia dapat memaksimalkan potensi dirinya baik potensi profesional maupun personal, dengan berbasis percakapan atau diskusi.
Coaching dapat dilakukan secara one on one, atau dengan sekelompok orang, selama fokusnya tidak berubah, yaitu mengoptimalkan potensi sumber daya manusia
Perbedaannya dengan tools pengembangan kapasitas sumber daya manusia lainnya seperti konseling dan mentoring adalah percakapan yang dilakukan atara Coach dan Coachee adalah setara. Coach tidak mengajarkan atau “menggurui” Coachee, tapi lebih menggali potensi Coachee dengan menjadi “cermin” dari Coachee dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memprovokasi pemikiran Coachee untuk bisa mencapai target-target tertentu.
Dalam Coaching ada terminologi “Coach” yaitu orang yang memberikan sesi coaching, dan “Coachee” yaitu orang yang menerima sesi coaching
ICF memiliki 8 standar kompetensi yang harus dimiliki seorang Coach. Seorang Coach yang berafiliasi dengan ICF diharapkan mendemonstrasikan 8 kompetensi tersebut, sedangkan metode atau pendekatan yang dipakai tergantung kebutuhan dan tujuan dari Coachee itu sendiri. Misalnya untuk kebutuhan organisasi, profesional, personal coaching, life coaching, parenting, maupun relationship coaching. Setiap orang atau organisasi memiliki kekuatan dan keunikan serta potensi yang bisa dimunculkan ketika tujuan atau cita-citanya tergambar dengan jelas.
Apa sebetulnya manfaat yang bisa didapatkan dari coaching?
Sari: Salah satu manfaat dari coaching adalah membangun kesadaran dalam diri sendiri agar Coachee dapat “bertanya” pada dirinya sendiri melalui sebuah “cermin” dirinya yaitu Coach. Coaching menjadi spesial, karena Coach mendorong Coachee-nya dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif yang membuat Coachee-nya mengeksplorasi diri, menemukan ide kreatif, dan terdorong melaksanakan proses berpikir dan proses kreatif sehingga dapat mencapai goals yang diinginkan dengan dorongan dari dalam diri sendiri, bukan dari luar atau orang lain.
Apa yang melatarbelakangi dipilihnya metode coaching untuk pengembangan Yayasan PETAI?
Sari: Berawal dari mendengar keresahan teman-teman senior di Yayasan PETAI untuk secara partisipatif mengembangkan profesionalitas organisasi juga cita-cita untuk mendapat pengakuan lebih luas. Dari diskusi ini, kami di Digdaya membagikan pengalaman dan keyakinan kami mengenai penguatan organisasi dengan pendekatan berbasis kekuatan dan keunikan. Coaching menjadi satu cara karena dapat mengeksplorasi potensi dan keunikan yang dimiliki oleh teman-teman organisasi yang bergerak di bidang konservasi , sehingga misi-misi konservasi mereka dapat terlaksana secara efektif, bermakna, dan dapat terlaksana secara jangka panjang. Saat itu, harapannya, program coaching bersama Digdaya dapat mendorong teman-teman PETAI berani keluar dari zona nyaman dan menantang diri sendiri untuk bisa melaksanakan misi konservasinya dengan lebih baik.
Mas: Waktu itu saya berada dalam suatu kondisi dimana saya merasa Yayasan PETAI seakan tidak maksimal dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Saya coba telusuri sebenarnya dimana tersendatnya, terus potensi pengembangannya gimana, dan itu kan gak boleh saya sendiri yang memikirkannya. Saya ingin tahu bagaimana sebenarnya persepsi staf terhadap Yayasan PETAI itu sendiri dan peran yang bisa mereka sumbangkan. Lalu saya browsing dan kenal dengan istilah coaching, kenal dengan orang-orangnya dan saya merasa ini salah satu metode yang boleh diuji coba. Saat itu, saya tidak sepenuhnya paham mengenai coaching ini, tapi beberapa literatur yang saya baca meyakinkan saya bahwa coaching ini mungkin bisa dicoba untuk menjawab kegalauan saya.
Setelah itu saya coba diskusikan terutama dengan pendiri-pendiri Yayasan PETAI dan dua orang yang saya hubungi itu sepakat untuk mencoba coaching. Lalu saya uji lagi ke beberapa staf inti di Yayasan PETAI. Mereka justru antusias, dan membuat keputusan saya bulat untuk mengikuti program coaching dengan Digdaya.
Saya waktu itu menghubungi Mbak Sari dan bercerita bahwa Yayasan PETAI sepertinya butuh di “recharge”. saya sebenarnya mengincar sesi Coaching secara personal, namun setelah diskusi, Mbak Sari muncul dengan ide untuk Coaching organisasi, bukan individunya. saya juga baru tahu saat itu bahwa ada Coaching organisasi, tidak hanya untuk individu. Kemudian saya diskusikan lagi dengan tim dan mereka mau.
Lalu, bagaimana proses coachingnya itu sendiri?
Sari: Dari awal, Digdaya dan PETAI mempraktekkan keterbukaan dan kepercayaan di dalam komunikasi. Dari awal, diskusi dilakukan untuk menggali ekspektasi dari para pihak juga membangun kesepakatan antara Digdaya dan PETAI, termasuk mendapatkan ijin dari PETAI untuk menjadikan program ini sebagai proses pembelajaran bersama dan membagikan pembelajaran kepada umum. Sejak awal, program coaching diputuskan untuk dilakukan secara virtual, untuk mengelola jarak geografis dan efisiensi waktu dan anggaran.
Sesi-sesi coaching diatur menyesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Untuk PETAI, hal ini dilakukan dengan cara memberikan sesi one on one antara Coach dengan Direktur, lalu sesi team coaching dengan Direktur dan para pendiri Yayasan dan sesi team coaching antara Coach dengan lima tim yang terdiri dari masing-masing 2 orang anggota PETAI.
Sesi bersama Direktur Yayasan PETAI dilaksanakan sebanyak tiga kali sesi Coaching yang berlangsung masing-masing selama 60 menit, sesi coaching bersama Direktur dan para pendiri Yayasan PETAI sebanyak satu sesi yang berlangsung selama 120 menit, sedangkan sesi dengan personil Yayasan PETAI dibagi menjadi lima tim dengan masing-masing tim mendapatkan dua kali sesi coaching, masing-masing sesi berlangsung selama 60 menit.
Perbedaan “isi” Coaching antara Direktur, para Pendiri, dengan Personil Yayasan PETAI adalah tergantung pada goals yang diinginkan.
Mas: Pada saat sesi coaching berjalan, tim saling berdiskusi mengenai sesi coachingnya masing-masing. Secara pribadi, saya melihat itu justru menarik, karena 5 pasang tim itu dibedakan topiknya. Tapi secara keseluruhan saya melihat gambaran besar dari PETAI pada saat itu, dan saya justru mendapat insight yang luar biasa. Jadi terjawab yang sebelumnya saya inginkan, bagaimana tim memandang PETAI, melihat posisi mereka masing-masing di PETAI, apa kontribusinya, serta apa (aspirasi) yang mereka ingin sampaikan. Itu juga justru terjawab di diskusi-diskusi di luar sesi coaching mereka. Kemudian muncul ide-ide yang sebelumnya tidak ada, kemudian saya juga ingat, mereka (masing-masing tim) saling memberi ide, dan diskusinya menurut saya jadi lebih berwarna di sesama mereka.
Saya pikir prosesnya itu sendiri yang menjadi pembelajaran. Jadi semakin kenal dengan potensi diri.
Masrizal Saraan, Direktur Eksekutif Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia
Apa pengalaman yang paling berkesan saat mendampingi Yayasan PETAI? Hal apa yang menantang?
Sari: Salah satu pengalaman yang berkesan dari program coaching ini adalah membiasakan Coach dan Coachee dengan teknologi komunikasi seperti Zoom. Zoom dirasa lebih stabil ketika dipakai oleh lebih dari 2 orang. Sangat menarik untuk mengamati bagaimana teman-teman PETAI yang terbiasa bekerja di lapangan secara tatap muka bertumbuh bersama kami dalam kapasitas dirinya, berbagai perubahan yang terjadi di dalam organisasi, juga dalam penggunaan teknologi. Hal ini juga menjadi menarik karena pada akhirnya di tahun 2020, hampir semua kegiatan seperti workshop, fasilitasi, coaching, dan sebagainya, harus dilakukan secara virtual, teman-teman di Yayasan PETAI sudah lebih terbiasa dan lancar untuk menggunakan juga memaksimalkan kegiatan melalui penggunaan teknologi komunikasi seperti Zoom.
Mas: Di awal saya meyakini akan ada kesulitan karena metode coaching itu mengeksplorasi orangnya (Coachee). Di awal-awal, agak kesulitan mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan mereka, tapi ketika didorong, makin didorong, akhirnya muncul. Nah itu yang menurut saya juga luar biasa karena sebelumnya saya merasa memang agak sulit mengidentifikasi kelemahan serta kekuatan mereka. Paling berkesan untuk saya, pada akhirnya mereka membuka diri, merasakan bahwa peran mereka di PETAI itu bermakna. Sejak awal saya ingin menghilangkan sentralistis di PETAI ini, saya ingin mereka semua punya peran, punya kontribusi positif, bahkan kalau bisa mereka punya karya yang monumental, apa pun itu bentuknya. Justru dengan coaching itu, setelah sesi ketiga, mereka sudah mulai bicara mengenai PETAI, bukan individu lagi. Sebelumnya masih muncul pembicaraan yang individualis. Ketika sudah mulai coaching, mulai hilang pembicaraan-pembicaraan itu. Lalu saya tambah lagi bakar semangat mereka dengan bilang, “Direktur PETAI itu tidak bisa apa-apa tanpa kalian”. Itu juga menjadi salah satu titik temu yang membakar semangat mereka.
Saya rasa itu tadi, membuka diri itu agak sulit, sangat menantang. Saya tidak sempat bertanya pada Coach apakah itu menjadi kendala, tapi saya sangat merasakan itu.
Apa pembelajaran yang didapatkan oleh Yayasan PETAI serta Digdaya dari proses ini?
Mas: Saya pikir prosesnya itu sendiri yang menjadi pembelajaran. Jadi semakin kenal dengan potensi diri. Pada akhirnya kami mulai menyepakati bahwa Yayasan PETAI itu punya spesifikasi khusus, tidak semua kegiatan yang terkait dengan kehutanan dan lingkungan hidup yang kita akan kerjakan, tapi ada spesifikasi khusus misalnya di kajian mengenai kebijakan. Tidak semua peluang pendanaan yang kita coba akses tetapi justru kita kaitkan dengan kapasitas ilmiah yang kita punya, serta dari potensi perubahannya. Proses coachingnya itu juga yang menjadi pembelajaran bahwa kita masih butuh proses yang seperti itu lagi untuk benar-benar melekatkan hasilnya di kawan-kawan, walaupun sudah saya lihat ada yang mencoba mereplikasi proses tersebut di diri masing-masing. Bahkan saya juga sering diingatkan oleh teman-teman mengenai apa yang perlu kita kerjakan dan tidak. Efek jangka panjang dari coaching ini terasa di Yayasan PETAI.
Sari: Tentunya selain teman-teman Yayasan PETAI, Digdaya juga mendapat banyak pelajaran dari seluruh proses ini. Mulai dari belajar berkawan dengan teknologi, hingga yang terpenting adalah belajar serta try-and-error dalam mendampingi sebuah organisasi untuk melakukan kegiatan coaching, karena program. Ini dijalankan di awal berdirinya Digdaya, dan Yayasan PETAI adalah klien pertama Digdaya dalam hal Coaching organisasi.
Apa perubahan yang terjadi dalam Yayasan PETAI setelah pelaksanaan coaching?
Mas: Yang pasti semakin kompak, sense of belonging semakin muncul terhadap Yayasan PETAI. Tidak semua orang, mungkin dua atau tiga orang, tapi cukup jauh lompatan dan pengaruh yang saya rasakan dari tiga orang ini. Kreasinya semakin saya rasakan di lapangan, juga inisiatifnya jadi semakin tinggi. Sadar atau tidak, ada beberapa poin dari proses coaching, mulai dari menggali kelemahan, kelebihannya dimana, dipraktikkan oleh staf lapangan kita dalam proses fasilitasi masyarakat. Hal ini bisa dibilang menjadi salah satu harapan Yayasan PETAI yang terpenuhi, karena impact atau hasil dari sesi-sesi coaching-nya dapat dirasakan sampai sekarang.
Sari: Perubahan yang teramati adalah, teman-teman dari Yayasan PETAI, baik personil tim maupun Direktur dan Pendiri terlihat lebih jelas goals yang ingin dicapai dari masing-masingnya. Hal tersebut membuat perencanaan menuju goals tersebut juga dapat terlihat lebih jelas.
Di sisi lain, semangat belajar, semangat teman-teman PETAI untuk terus bertumbuh, menjadi lebih baik juga dapat teramati, dan menjadi sebuah energi tambahan bagi para Coach di Digdaya.
Dari awal, Digdaya dan PETAI mempraktekkan keterbukaan dan kepercayaan di dalam komunikasi.
Sarilani Wirawan, Co-Founder & Managing Director Digdaya Citta Selaras
Terakhir, apakah ada pesan yang ingin disampaikan teman-teman Yayasan PETAI kepada Digdaya?
Mas: Pesan saya, kalau ada community service dari Digdaya boleh coaching Yayasan PETAI lagi hehehe. Kami merasakan manfaatnya. Kalau untuk teman-teman di Digdaya, saya punya usul, saya melihat di Sumatera Utara ada LSM-LSM yang butuh pengembangan kapasitas tapi justru belum ketemu pola yang tepat. Sementara saya merasakan metode coaching ini sangat produktif untuk sebuah Lembaga. Beberapa orang saya lihat sifatnya masih belum terlalu yakin karena seolah-olah tidak ada produk nyatanya (setelah coaching). Ini tantangan bagi Digdaya, untuk membuktikan bahwa proses coaching itu salah satu metode yang paling tepat untuk penguatan kapasitas. Jadi menggaungkan coaching ini perlu dilakukan oleh Digdaya.